A. Highlight Artikel

Investasi Program Pengungkapan Sukarela untuk Transformasi Ekonomi

Jakarta, 25 Februari 2022 – Laju pemulihan ekonomi nasional yang semakin kuat perlu terus dijaga dan semakin diperkokoh. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 menunjukkan tren perbaikan yang signifikan. Pencapaian ini sangat penting dalam membentuk fondasi yang lebih kuat untuk mendorong transformasi perekonomian ke arah yang lebih bernilai tambah tinggi, berkelanjutan, serta inklusif di masa yang akan datang. Pemanfaatan agenda reformasi struktural, khususnya dalam meningkatkan daya tarik investasi berperan penting dalam mewujudkan tujuan ekonomi jangka menengah-panjang. Sumber-sumber investasi, termasuk yang berasal dari dalam negeri, perlu terus digali untuk mendorong kinerja ekonomi nasional serta memperkuat daya tahan ekonomi dari gejolak eksternal.

Di sisi lain, kondisi kesinambungan fiskal, yang merupakan pilar penting stabilitas makro, juga perlu terus jaga. Selama pandemi, APBN telah bekerja sangat keras dalam menjalankan fungsi stabilisasi. Kebijakan anti-siklus (countercyclical) APBN selama pandemi COVID-19 berperan efektif dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional. Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang level PDB-nya telah kembali berada di atas level pra-pandemi. Seiring dengan menguatnya pemulihan ekonomi, peran sektor swasta secara bertahap mulai meningkat, ditunjukkan dengan kredit perbankan yang mulai tumbuh positif, konsumsi listrik sektor bisnis dan industri, serta indeks PMI manufaktur yang terus membaik. Kontribusi sektor swasta yang semakin menguat memberikan sinyal bagi Pemerintah untuk secara bertahap mengurangi stimulusnya (tapering off). Hal ini diperlukan untuk memberikan ruang kepada dunia usaha untuk mendapatkan sumber pembiayaan, seiring dengan penurunan penerbitan SBN di pasar keuangan (menghindari crowding-out effect).

Agar pengelolaan fiskal tetap optimal untuk menstimulasi perekonomian dan mewujudkan kesejahteraan, Pemerintah salah satunya mendorong optimalisasi pendapatan melalui reformasi perpajakan. Komitmen reformasi perpajakan tersebut ditempuh dengan implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). UU HPP esensinya mendorong agar sistem perpajakan lebih sehat, adil dan berkelanjutan. Program Pengungkapan Sukarela (PPS) merupakan salah satu ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang berlaku dari 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022.

PPS adalah pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. Sebagai bagian dari implementasi PPS, Pemerintah menetapkan kebijakan investasi PPS melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor KMK 52/KMK.010/2022 tentang Kegiatan Usaha Sektor Pengolahan Sumber Daya Alam Dan Sektor Energi Terbarukan Sebagai Tujuan Investasi Harta Bersih Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak (KMK Investasi PPS) yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus mendorong investasi. “Pemerintah menetapkan kebijakan tarif pajak terendah bagi investasi dalam rangka PPS yang mendorong transformasi ekonomi yaitu sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) dan energi terbarukan”, ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu

Investasi PPS dengan demikian memiliki dua fungsi penting secara ekonomi yaitu potensi sumber investasi baru untuk membiayai pembangunan ekonomi dan perluasan basis perpajakan nasional. Dalam periode berlakunya PPS, Wajib Pajak diberi kesempatan untuk secara sukarela mengungkapkan harta yang belum atau tidak dilaporkan dalam tax amnesty (untuk kebijakan I) atau harta yang selama ini belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (untuk kebijakan II).

 

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pemerintah telah mengatur pedoman teknis pengungkapan harta bersih (deklarasi), pengalihan harta bersih ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (repatriasi) dan investasi harta bersih pada Surat Berharga Negara, atau kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan.

“Pemerintah akan menawarkan SBN khusus dalam rangka Program Pengungkapan Sukarela secara rutin bergantian antara instrumen SUN dan SBSN sebagaimana jadwal penerbitan (tentative) pada Landing Page https://www.djppr.kemenkeu.go.id/pps/”, ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, Luky Alfirman.

Ada dua kebijakan yang ditawarkan oleh Pemerintah dalam PPS ini yaitu Kebijakan I yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak eks peserta program Pengampunan Pajak (tax amnesty) dan Kebijakan II bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum sepenuhnya melaporkan harta bersihnya yang diperoleh pada tahun pajak 2016 hingga 2020.

Tiga Pilihan Tarif untuk Kebijakan I dan II

Dalam Kebijakan I, pengenaan tarif PPh Final 11 persen diperuntukkan bagi deklarasi harta di luar negeri yang tidak direpatriasi, 8 persen untuk deklarasi harta di luar negeri yang direpatriasi dan deklarasi harta dalam negeri. Selanjutnya, tarif 6 persen bagi deklarasi harta di luar negeri yang direpatriasi dan deklarasi harta dalam negeri serta diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) atau kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan.

Selanjutnya, dalam Kebijakan II, tarif PPh Final 18 persen dikenakan terhadap deklarasi harta di luar negeri yang tidak direpatriasi, 14 persen bagi deklarasi harta di luar negeri yang direpatriasi dan deklarasi harta dalam negeri, serta 12 persen bagi deklarasi harta di luar negeri yang direpatriasi dan deklarasi harta dalam negeri, serta diinvestasikan dalam SBN atau kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan. Melalui KMK Investasi PPS, Menteri Keuangan menetapkan sebanyak 332 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dalam sektor pengolahan SDA dan sektor energi terbarukan sebagai tujuan investasi harta bersih yang berhak atas tarif terendah dalam PPS ini.

Wajib Pajak eks peserta tax amnesty yang mengikuti program ini dengan jujur sesuai keadaan sebenarnya akan terhindar dari pengenaan sanksi Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak yaitu sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengikuti program ini, tidak akan diterbitkan surat ketetapan pajak atas kewajiban perpajakannya untuk tahun pajak 2016 s.d. 2020. Data/Informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam program ini baik yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana. “Dengan desain ini, kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan basis pajak diharapkan meningkat sehingga dapat mengoptimalkan penerimaan pajak. Hal ini diharapkan berkontribusi positif bagi upaya konsolidasi fiskal”, lanjut Febrio.

Di samping itu, negara-negara telah berkomitmen untuk ikut serta dalam perjanjian internasional di bidang perpajakan yang mewajibkan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange of Financial Account Information). Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 pun telah memberikan payung hukum bagi akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Semua hal ini diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. “Oleh karena itu, PPS seharusnya merupakan kesempatan terbaik yang disediakan pemerintah dan seyogianya digunakan sebaik-baiknya oleh Wajib Pajak”, tutup Febrio.

sumber : Siaran Pers Kementerian Keuangan

Leave a Comment

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

You may also like

Skip to content